Kiai Kanjeng, Sebuah Nilai
Saturday, October 31, 2009
Aku masih ingin bercerita tentang acara itu.
Selain budayawan mbeling dan suasana kebersamaan itu, ada satu hal lagi yang selalu membuatku tidak rela melepaskan acara itu.
Sekelompok orang yang selalu bersama budayawan mbeling itu kemanapun dia diundang atau melakukan suatu kegiatan.
Sekumpulan orang yang bisa dibilang tidak muda, walaupun sekarang sudah ada regenerasi, tapi mereka adalah bapak2 kebanyakan yang bersama budayawan mbeling itu menunjukkan indahnya musik tanpa embel2 'genre', Kiai Kanjeng.
Tidak banyak yang tahu Kiai Kanjeng. Kemunculan mereka tidak terlalu menarik untuk dibahas industri 'mainstream'.
Mereka kalah segalanya kalau dalam hitung2an industri musik.
Lagu mereka tidak mengikuti arus, lirikpun tidak populer. Apalagi sudah menyangkut fisik, tampang mereka tidak menjual.
Tapi tidak banyak yang tahu juga, sebelum lagu2 religius bertebaran di pasaran dan menjadi sebuah komoditi dagang industri musik, Kiai Kanjeng sudah melintasi pulau, negara, komunitas, suku bahkan agama untuk mengajak semua orang bergembira, menumbuhkan rasa persatuan dan persaudaraan, melalui musik.
Berawal dari Teater Dinasti di tahun 70an, timbul tenggelam sampai di awal 90an, budayawan mbeling itu bersama Teater Salahuddin membuat sebuah pertunjukan bernama Pak Kanjeng untuk mengkritik penguasa pada masa itu.
Hingga akhirnya lahir Kiai Kanjeng, yang kalau diteruskan akan melahirkan Letto.
Kiai Kanjeng bergerak dengan hatinya, sebuah konsep tentang memanusiakan manusia.
Berjalan di jalan sunyi bersama budayawan mbeling itu tanpa perlu publikasi dan 'ketenaran'.
Kiai Kanjeng merangkul semuanya, tanpa pilih2.
Kiai Kanjeng tidak perlu sebuah panggung megah untuk tampil, atau lampu2 blitz dan tiket seharga setengah juta.
Mereka ada di kelurahan, di acara2 kesenian sampai di altar2 gedung pencakar langit.
Ukuran sukses mereka ada di kegembiraan orang2 kecil menikmati hidup, berbagi bersama korban lumpur Sidoarjo, di museum seni klasik Napoli, di tengah2 perjanjian damai 3 agama di Belanda.
Musik mereka pada dasarnya tradisional, gamelan, rebana, demung tapi mereka juga sangat bagus memainkan gitar, biola, piano, dan perkusi.
Musik mereka memakai bahasa apa saja, Indonesia, Arab, Inggris, China bahkan Ibrani.
Kiai Kanjeng selalu membanggakan Indonesia ketika mereka sedang melawat ke luar negeri tanpa pernah meminta pamrih pada Indonesia atas 'pelayanan' mereka.
Kiai Kanjeng terlalu besar untuk masuk dalam buku musik Indonesia, karena mereka tidak mau diperbudak musik.
Kiai Kanjeng tidak mau musik menjadi awal sebuah jurang antara manusia dengan manusia lain.
Level musik Kiai Kanjeng tidak pop,rock,blues,karawitan,jazz,qasidah atau apapun sebutan untuk musik itu sendiri.
Kiai Kanjeng membuat semua batasan itu menjadi tidak ada. Musik adalah bahasa, media untuk mengakrabkan semua.
Karena memang begitulah seharusnya..Kami kumpulan manusia-manusia yang lemah, yang takut kehilangan intimitas kemanusiaan, dan rasa takut itu kami bayar dengan keberanian untuk kehilangan yang lain yakni sukses dan kemasyhuran, jabatan dan kekuasaan, karier dan kehebatan. Atau dari sudut lain, kami adalah sekumpulan manusia-manusia yang tak mampu mencapai sukses dan kemasyhuran, jabatan dan kekuasaan, karier dan kehebatan maka kami berusaha jangan sampai kehilangan “yang paling sederhana dari kehidupan” yakni persaudaraan, keluarga dan intimitas kemanusiaan dalam hidup yang amat singkat ini. -Kiai Kanjeng-
"Heh, adikku juga ternyata sering ke acara itu". Seorang teman berbicara padaku melalui telepon, mengatakan kalau adiknya juga rela bolak balik Semarang-Yogyakarta demi acara itu.
"Masak, kok gak pernah ketemu ya.."
"Meneketehe, waktu kutanya, katanya dia pengen liat Kiai Kanjeng. Musiknya magis.."
"Hah, magis..?"
"Iya, katanya... 'mbak, Kiai Kanjeng itu punya magis deh. Dream Theater mah... lewat...'. Dodol bener tu anak, mang bener ya..?"
"Hahahaha, iya kali..."
0 comments:
Post a Comment